Sunan Kudus atau yang bernama lengkap Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. lahir sekitar 1500an Masehi.Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk
Kudus,ia berasal dan lahir di Al-Quds Palestina. Kemudian bersama kakek,ayah
dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.
Ayah Sunan Kudus yaitu Sunan Ngudung adalah
putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja
Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa yang kemudian
diangkat menjadi Panglima Perang di Kesultanan Islam Demak.
Ibunya Bernama Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel.Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi MUHAMMAD SAW. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru
kepada Sunan Kalijaga.Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah
Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap
budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan
Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para
pengikutnya.Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal
bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa
simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci.Mereka
kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain
dari ajaran yang dibawa oleh ia.
Selain berdakwah lewat sapi,bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika.Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai
tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan
Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah
Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu
hal yang melampaui zamannya.Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung
nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam
di Indonesia pada umumnya.
Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama'
dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi
Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji
Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar