๐Ÿ’บ๐Ÿ›ธ๐Ÿšค๐Ÿ›ณ️๐Ÿ›Ÿ๐Ÿ›ž๐Ÿšฆ๐Ÿณ️‍๐ŸŒˆ๐Ÿด๐ŸŒŒ๐ŸŒŽ๐Ÿงญ๐ŸŒ‹๐Ÿ•️๐Ÿ–️๐ŸŸ️๐Ÿ˜️๐Ÿ—️๐Ÿ️๐Ÿ›ฃ️๐Ÿ›ค️⛰️๐Ÿ—บ️๐ŸŒ๐Ÿšฉ๐Ÿณ️๐Ÿ๐Ÿšฅ⛽⚓๐Ÿด‍☠️๐Ÿช๐ŸŒ๐Ÿ”️๐Ÿ—ป๐Ÿž️๐Ÿœ️๐Ÿ›️๐ŸŽˆ๐Ÿงจ๐ŸŽŠ๐ŸŽ‹๐ŸŽ๐Ÿงง๐ŸŽ—️๐ŸŽซ๐ŸŽก๐ŸŽญ๐Ÿงต๐Ÿชข๐Ÿ•ถ️๐Ÿ›’๐Ÿชก๐Ÿ–ผ️๐ŸŽข๐ŸŽ ๐ŸŽž️๐ŸŽ€๐ŸŽ๐ŸŽ๐ŸŽƒ✨๐ŸŽ†๐ŸŽ‡๐ŸŽ‰๐ŸŽ„๐ŸŽŽ๐ŸŽ‘๐ŸŽ๐ŸŽŸ️๐Ÿ›๐ŸŽช๐ŸŽจ๐Ÿงถ๐Ÿ‘“๐Ÿฅฝ⛸️๐ŸŽณ๐Ÿˆ๐ŸฅŽ๐Ÿ’Ž๐Ÿ’‹๐Ÿ‘’๐Ÿงข๐Ÿชฎ๐Ÿ‘ ๐Ÿ‘Ÿ๐ŸŽ’๐Ÿ‘œ๐Ÿฉฑ๐Ÿ‘š๐Ÿ‘—๐Ÿงฃ๐Ÿ•ถ️๐Ÿงค๐Ÿฅป๐Ÿชญ๐Ÿ‘™๐Ÿ‘๐Ÿฉด๐Ÿฅพ๐Ÿ‘ก๐Ÿฉฐ๐Ÿช–๐ŸŽฉ๐Ÿ’„⚽๐Ÿ€๐Ÿ‰๐ŸฅŒ๐ŸŽฃ๐Ÿคฟ⛳๐ŸŽฑ๐Ÿ⚾๐Ÿ’๐ŸŽ“⛑️๐Ÿ‘‘๐Ÿ‘ข๐Ÿฅฟ๐Ÿ‘ž๐Ÿ›️๐Ÿ‘›๐Ÿ‘˜๐Ÿš—๐ŸšŒ๐Ÿ›บ๐Ÿš‘๐Ÿš›๐Ÿš”๐Ÿฆฝ๐Ÿ›ผ๐Ÿ›ต๐Ÿš„๐Ÿš‹๐ŸšŠ๐Ÿ›ฉ️๐Ÿ›ซ๐Ÿš๐Ÿ›ฐ️๐Ÿ›ฅ️๐Ÿšข๐Ÿš๐Ÿšจ๐Ÿš“๐Ÿš™๐Ÿš๐Ÿš’๐Ÿšœ๐Ÿš–๐Ÿฆผ๐Ÿšฒ๐Ÿ️๐Ÿš•๐Ÿ›ป๐ŸšŽ๐Ÿšš๐Ÿš˜๐ŸŽ️

Cari Disini

Jumat, 21 Agustus 2020

SUNAN KUDUS (SAYYID JA`FAR SHADIQ AZMATKHAN)

Sunan Kudus atau yang bernama lengkap Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan.
lahir sekitar 1500an Masehi. Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW. 
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds Palestina.
Kemudian bersama kakek,ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa. Ayah Sunan Kudus yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa yang kemudian diangkat menjadi Panglima Perang di Kesultanan Islam Demak. Ibunya Bernama Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi MUHAMMAD SAW. dari Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.

Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga.Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat. Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya.Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu. Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci.Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia. Selain berdakwah lewat sapi,bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika.Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali. 

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini. Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus. Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya.Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.  Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar