Abu
Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi
adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan.Ia juga
dikenal dengan nama lain Abu Nasir al-Farabi (dalam beberapa sumber ia dikenal
sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi juga
dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius,Al-Farabi,Farabi,dan Abunasir.870.
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli.Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.Pada masa awal pendidikannya ini,al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa,kesusasteraan,ilmu-ilmu agama (fiqh,tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50.Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad,yaitu kira-kira pada tahun 920 M.Al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil.
Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.Tahun 940M,Al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid Kepala daerah (distrik) Aleppo yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah.
Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’(masih dinasti Abbasiyyah).
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli.Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.Pada masa awal pendidikannya ini,al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa,kesusasteraan,ilmu-ilmu agama (fiqh,tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50.Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad,yaitu kira-kira pada tahun 920 M.Al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil.
Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.Tahun 940M,Al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid Kepala daerah (distrik) Aleppo yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah.
Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’(masih dinasti Abbasiyyah).
Al-Farabi
lahir di Wasij,sebuah dusun kecil di kota Farab,PropinsiTransoxiana,Turkestan,sekitar
tahun 870.
Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab.
Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya.Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.”Pada masa awal pendidikannya ini,al-Farabi belajar al-Qur’an,tata bahasa, kesusasteraan,ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya.
Pada saat itu Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia.Pada saat al-Farabi di Bukhara,Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892).
Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam.
Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia.Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik,Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim,Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi.Setelah melepaskan jabatan qadhinya,al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan.Di bawah bimbingannya,al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian,termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus.
Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.Setelah dari Merv bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932),bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat.Tapi,sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran.Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus seorang filosof Nestorian telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian.Segera ia bergabung menjadi murid Matta.Akan tetapi kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab.
Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya.Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.”Pada masa awal pendidikannya ini,al-Farabi belajar al-Qur’an,tata bahasa, kesusasteraan,ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya.
Pada saat itu Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia.Pada saat al-Farabi di Bukhara,Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892).
Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam.
Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia.Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik,Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim,Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi.Setelah melepaskan jabatan qadhinya,al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan.Di bawah bimbingannya,al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian,termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus.
Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.Setelah dari Merv bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932),bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat.Tapi,sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran.Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus seorang filosof Nestorian telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian.Segera ia bergabung menjadi murid Matta.Akan tetapi kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada
akhir tahun 942,ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang
memburuk.Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari
digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk
membaca dan menulis karya-karya filsafat.Dengan alasan yang sama ia pindah ke
Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa
tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra
mahkota penguasa baru Siria,Saif al-Daulah (w. 967).Dalam perjumpaan
pertamanya,Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya
dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa.Kehidupan
sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan
pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada
bulan Desember 950,ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia
delapan puluh tahun.
Kontribusi
AL Farabi bagi perkembangan ilmu pengetahuan Dunia Ilustrasi dari Kitab
al-Musiqa al-Kabir.Gambaran dari alat musik,disebut shahrud
Al-Farabi
adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani,ia mengenal para filsuf
Yunani; Plato,Aristoteles dan Plotinus dengan baik.Kontribusinya terletak di
berbagai bidang seperti matematika,filosofi,pengobatan,bahkan musik.Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting
dalam bidang musik,Kitab al-Musiqa. Selain itu ia juga dapat memainkan dan
telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi
dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena
kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam
ilmu filsafat.Dia
adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan
sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta
berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama
wahyu.Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla
dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah yang berbentuk Monarki yang
dipimpin oleh seorang Khalifah.Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid
(869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M)
dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena
ketiadaan kestabilan politik.Dalam
kondisi demikian al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para
ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan
ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk
menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
Karya - Selama hidupnya al Farabi
banyak berkarya,Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi
dapat ditinjau menjdi 6 bagian yakni:Logika, Ilmu-ilmu Matematika,Ilmu Alam,Teologi,Ilmu Politik dan kenegaraan,Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).Karyanya
yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama)
yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan
hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum
Ilahiah islam.Filsafat politik Al-Farabi,khususnya gagasannya mengenai
penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
Pemikiran
tentang Asal-usul Negara dan Warga Negara
Menurut
Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat
terbentuknya negara.Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan bantuan orang lain,maka manusia menjalin hubungan-hubungan
(asosiasi).Kemudian dalam proses yang panjang pada akhirnya terbentuklah suatu
Negara.
Menurut Al-Farabi,negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan,papan,dan keamanan,serta mampu mengatur ketertiban masyarakat sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata.
Menurut al-Farabi,adalah Negara Utama Menurutnya warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar titik awal prinsip,ideologi,dan konsep dasar,Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat,corak serta jenis negara.
Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara,yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.
Menurut Al-Farabi,negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan,papan,dan keamanan,serta mampu mengatur ketertiban masyarakat sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata.
Menurut al-Farabi,adalah Negara Utama Menurutnya warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar titik awal prinsip,ideologi,dan konsep dasar,Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat,corak serta jenis negara.
Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara,yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.
Negara
Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama,karena secara
alami,pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan
sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
1.Pertama,
jantung= Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur
yang tidak diatur oleh organ lainnya.
2.Kedua,
otak= Bagian peringkat kedua ini selain bertugas melayani bagian peringkat
pertama juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya yakni organ peringkat
ketiga, seperti : hati,limpa,dan organ-organ reproduksi.
3.ketiga, Organ
bagian ketiga= Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ
dari bagian atasnya.
Al-Farabi membagi negara
ke dalam lima bentuk, yaitu:
1. Negara
Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para nabi dan
dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
2. Negara
Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan.
3. Negara
Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan,tetapi tingkah
laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
4.Negara
yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya penduduk negara
ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama,namun
kemudian mengalami kerusakan.
5. Negara
Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap
dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan
perbuatannya.
Pemikirannya Tentang
Pemimpin
Dengan
prinsip yang sama seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting
dan paling sempurna di dalam suatu negara.
Menurut Al Farabi,pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one-dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup,yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua.Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi,namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan,maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.
Menurut Al Farabi,pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one-dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup,yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua.Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi,namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan,maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.
Referensi: berbagai sumber ,https://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar